Tentang Polemik RUU PKS dan Pola Pikir Penyelesaian Masalah dalam Menyikapinya

Rizqie Aulia
6 min readJul 1, 2020

Kali ini saya tidak akan bicara tentang design dan UX Writing. Topik kali ini lebih penting, jauh lebih penting dari itu semua. Kali ini saya ingin bicara mengenai rasa frustrasi yang saya rasakan atas rencana penghapusan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2020. Dua hari ini perasaan saya dibuat campur aduk oleh para wakil rakyat yang dengan gampangnya berkelakar macam-macam atas rencana penghapusan ini. Ada yang bilang alasannya karena pembahasannya sulit, dan ada pula yang mengamini perkataan itu serta menyebutnya rasional.

Jauh sebelum saya terjun ke dunia design dan UX Writing, saya dulu kuliah Ilmu Politik. Mungkin jelas tidak nyambung dengan pekerjaan yang kini saya ampu, tapi saya rasa empat tahun mendalami ilmu politik turut membentuk cara saya memandang dunia. Mungkin karena saya tahu benar sulitnya membahas suatu rancangan undang-undang, mungkin karena saya paham betul alotnya tawar menawar politik di balik sebuah rancangan undang-undang, mungkin pula karena saya mengerti bahwa praktik politik di Indonesia sama amisnya dengan yang terjadi di serial House of Cards; saya dulunya cenderung memaklumi tingkah dan polah para elit politik Indonesia. Tapi tentu, tingkat maklum dan sabar; semua ada batasnya. Dan saya rasa, dua hari ini garis batas saya sudah terlampau begitu jauh. Rasa frustrasi dan kecewa yang saya rasakan dua hari ke belakang akhirnya saya tuangkan ke dalam hal yang saya rasa mampu saya lakukan: menulis.

Ini semua berawal dari hari kemarin saat Wakil Ketua Komisi VIII berkata pada awak media bahwa pembahasan RUU PKS bisa jadi akan dihentikan dan dikeluarkan dari Prolegnas tahun 2020 karena dirasa sulit untuk dibahas. Sedikit informasi, setiap empat tahun DPR memiliki daftar prioritas legislasi yang akan dibahas lebih lanjut dan diputuskan kelangsungannya; disebut sebagai Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Menghapus RUU PKS dari Prolegnas tahun 2020 berarti menunda pengesahannya setidaknya empat tahun, karena paling cepat dapat dimasukkan kembali di Prolegnas tahun 2024. Bahkan jika RUU PKS tetap masuk ke dalam Prolegnas tahun 2020 pun, masih terdapat kemungkinan RUU tersebut tidak akan disahkan karena masih ada proses verifikasi serta pembahasan lebih lanjut oleh DPR.

Sulit rasanya untuk membayangkan 4 tahun ke depan para korban kekerasan seksual masih juga belum mendapat kepastian dan perlindungan hukum yang nyata dari Pemerintah. Hal ini berbanding terbalik dengan situasi yang terjadi di masyarakat, di mana angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara tajam. Di dalam CATAHU (Catatan Tahunan) Komnas Perempuan tahun 2019, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2018 (naik dari tahun sebelumnya sebanyak 348.466). Angka ini tentu tidak dapat menjadi patokan mutlak jumlah kekerasan yang terjadi di masyarakat karena angka tersebut didapatkan dari kasus yang dilaporkan; bukan angka riil tindakan kekerasan yang terjadi. Belum lagi kekerasan seksual pada korban laki-laki yang jumlahnya nyaris tidak tercatat karena korban umumnya merasa malu untuk melaporkan. Ngilu rasanya membayangkan angka ini akan terus naik dalam 4 tahun ke depan karena tidak adanya payung hukum yang benar-benar memihak pada korban.

Tidak berhenti sampai di situ, hari ini Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra juga menimpali bahwa usulan Komisi VIII di atas dinilai rasional. Nilai rasionalitas mana kah yang dimaksud oleh beliau? Rasionalkah ketika ada siswa SD berjalan pulang dari sekolah lalu diperkosa oleh 14 orang pria dan lalu tubuhnya dibuang ke jurang serta dibiarkan mati (Kasus Yuyun)? Rasionalkan ketika ada karyawati pabrik diperkosa oleh rekan kerjanya dan dibunuh secara keji dengan memasukkan cangkul ke alat kelaminnya (Kasus Enno Parinah)? Rasionalkan ketika ada karyawan bertahun-tahun dilecehkan oleh atasannya lalu melaporkan kepada pihak kepolisian namun justru dijerat pasal karet UU ITE dan pelecehan nama baik (Kasus Baiq Nuril)? Rasionalkah ketika seorang mahasiswa diperkosa pada saat melaksanakan KKN dan pihak kampus menutupi kasus itu dengan alasan menjaga nama baik kampus (Kasus Agni)? Saya rasa tidak.

Namun demikian, penting bagi kita untuk tidak berhenti di sini. Rasa marah dan frustrasi ini harus disalurkan ke pembicaraan yang konstruktif dan berpegang pada pola pikir penyelesaian masalah; bukannya sedih dan terus mengutuki keadaan. Saya rasa, ada beberapa hal yang dapat kedua belah pihak (baik DPR maupun para aktivis pro RUU PKS) lakukan.

Teruntuk wakil rakyat yang terhormat,

  1. Rekam jejak bertahan selamanya
    Mungkin pekerjaan ini hanya bertahan lima tahun bagi Anda. Selama Anda menjabat, Anda mungkin berpikir bahwa semua berhenti sampai lima tahun ke depan. Namun jangan lupa, jejak rekam Anda akan terus diingat oleh masyarakat. Mungkin suatu saat nanti Anda akan mencalonkan diri menjadi pejabat publik; bupati, gubernur atau bahkan presiden; apa yang Anda utarakan mengenai isu ini akan terpatri selamanya menjadi rekam jejak Anda dalam dunia legislasi. Para korban kekerasan yang kini Anda kecewakan, bisa jadi nanti sudah memiliki anak dan keturunan yang bisa jadi sudah memiliki hak pilih pula. Jika Anda ingin membangun karir politik yang sifatnya jangka panjang, ada baiknya Anda senantiasa menjaga apapun yang Anda utarakan kepada publik. Ingat, bahkan ungkapan secara digital yang sudah dihapus dapat disimpan dan bisa dipergunakan untuk menghancurkan Anda di kemudian hari.
  2. Perbanyak empati
    Pada akhirnya, semua ini memang perkara empati dan rasa kemanusiaan. Anda tidak harus memiliki ibu, istri atau anak perempuan untuk bisa berempati dengan para korban di atas. Anda pun tidak harus menjadi korban kekerasan seksual untuk dapat merancang legislasi yang berpihak pada korban. Semua cuma perkara mau dan tidak mau. Jika Anda merasa tidak paham dengan apa yang mereka rasakan, banyak media yang dapat Anda pakai sebagai referensi dan sarana pembelajaran. Film dan serial yang membahas korban kekerasan seksual sudah banyak bertebaran di media. Tinggal menambahkan kemauan untuk dapat bertenggangrasa pada korban. Pertanyaannya, maukah Anda?
  3. Rangkul akademisi dan praktisi terkait
    Ini adalah salah satu tindakan paling mudah yang dapat Anda lakukan. Sebagai wakil rakyat dengan segala privilese yang Anda miliki, mengundang akademisi dan praktisi di bidang kekerasan seksual tentu bukan perkara sulit. Datangkan mereka, ajak mereka berdiskusi, tanyakan segala hal yang membuat Anda ragu bahwa isu ini memang penting untuk dibahas. Jika ada istilah-istilah yang asing di telinga Anda, tanyakan pada mereka. Jika ada pasal-pasal yang menciptakan problematika, konsultasikan pada mereka. Buka kran diskusi selebar-lebarnya dan buat diri Anda memahami isu ini luar dalam. Sungguh, bukan perkara sulit bagi kalian.

Teruntuk para aktivis,

  1. Terus buka ruang diskusi
    Saya tahu dua hari ini bisa jadi dua hari paling melelahkan dalam sejarah perjuangan kalian. Namun demikian, tetap jagalah api semangat agar tidak paham. Adakan diskusi masif dengan berbagai pihak. Jangan berhenti dengan berdiskusi hanya dengan pihak yang sepemikiran dengan kalian, namun libatkan juga para pihak yang berseberangan. Rangkul kawan-kawan yang merasa kontra dengan RUU ini dan tanyakan, hal apa yang mengganjal bagi mereka. Pahami sudut pandang mereka dan buat mereka memahami pula sudut pandang Anda. Bukankah memahami musuh adalah langkah pertama dari memenangkan peperangan?
  2. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh bahkan lapisan masyarakat tingkat bawah
    Ini mungkin satu hal yang saya rasakan secara pribadi, namun seringkali pembahasan mengenai kesetaraan gender dan pemenuhan hak korban kekerasan seksual senantiasa menggunakan istilah-istilah yang sulit dipahami. Coba bungkus pemahaman Anda dengan kemasan yang mudah dipahami oleh berbagai pihak. Jangan hentikan perjuangan hanya pada mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang setara dengan Anda, tapi cobalah turun ke masyarakat. Lupakan istilah-istilah njlimet dan coba jelaskan konsep yang sama dengan bahasa yang lebih lugas serta mudah dipahami. Saya rasa penting pula untuk membangun narasi bahwa isu ini adalah isu yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bukan hanya oleh beberapa dari mereka saja.
  3. Bagi poin RUU ke dalam poin-poin kecil
    Ini mungkin terdengar seperti keputusasaan, namun penting untuk memahami bahwa unsur politik dalam pembahasan RUU memang sangat kental. Jika memang tidak memungkinkan untuk mengsahkan keseluruhan RUU, coba turunkan ego dan buat prioritas poin-poin yang mutlak harus ada segera, serta poin lain yang bisa menyusul. Jika perjuangan ini tidak dapat dimenangkan secara serta merta dalam sekali pertempuran, mungkin kita bisa memenangkan pertempuran-pertempuran kecil ke depan.

Pada akhirnya, politik memang kotor dan penuh tipu daya. Tapi tentu, bukan berarti kita harus menyerah pada keadaan. Saya percaya bahwa generasi muda punya andil besar dalam membuat perubahan. Hal-hal kecil yang dapat Anda lakukan bisa dimulai dari hal yang benar-benar kecil; memandatangani petisi, menulis di media, bahkan sesederhana membuat konten di sosial media. Kita semua harus ambil andil dalam perjuangan ini. Dan tentu, kita tidak boleh berhenti hanya karena satu, dua atau bahkan 575 orang wakil rakyat mengecewakan kita.

--

--